Tanjungpinang, Tuah Kepri – Data Badan Pusat Statistik (BPS) Provinsi Kepulauan Riau (Kepri) menyatakan, jumlah penduduk miskin (penduduk yang berada di bawah Garis Kemiskinan) Kepri pada Maret 2017 bertambah sebanyak 6.227 orang atau naik sebesar 0,22 poin.
“Jika dibandingkan dengan jumlah penduduk miskin (penduduk yang berada di bawah Garis Kemiskinan) pada September 2016 yang berjumlah 119.143 orang, dengan jumlah penduduk miskin pada Maret 2017 di Provinsi Kepri sebanyak 125.370 orang, artinya secara absolut mengalami peningkatan atau bertambah sebanyak 6.227 orang dan naik sebesar 0,22 poin untuk daerah perkotaan dan pedesaan, ” kata kepala BPS Kepri, Panusunan Siregar di Tanjungpinang.
Panusunan menjelaskan, sementara selama periode September 2016-Maret 2017, untuk penduduk miskin di daerah perkotaan bertambah sebanyak 5.301 orang, dari 86.189 orang menjadi 91.490 orang, demikian pula di daerah perdesaan secara absolut mengalami kenaikan jumlah penduduk miskin sebanyak 926 orang.
Kemudian masih dikatakannya, secara relatif persentase penduduk miskin daerah perkotaan mengalami peningkatan 0,21 poin selama periode September 2016-Maret 2017, yaitu dari 4,99 persen menjadi 5,20 persen.
Sementara di perdesaan persentase penduduk miskin bertambah sebesar 0,45 poin, yaitu dari 10,47 persen menjadi 10,92 persen.
Panusunan menambahkan, sementara peranan komoditas makanan terhadap Garis Kemiskinan, jauh lebih besar dibandingkan peranan komoditas bukan makanan (perumahan, sandang, pendidikan, dan kesehatan).
“Pada Maret 2017, sumbangan Garis Kemiskinan Makanan terhadap Garis Kemiskinan sebesar 67,47 persen, sedangkan sumbangan Garis Kemiskinan Bukan Makanan terhadap Garis Kemiskinan pada Maret 2017 adalah sebesar 32,53 persen,” ucapnya.
Komoditas makanan yang berpengaruh besar terhadap nilai Garis Kemiskinan di daerah perkotaan kata dia, adalah beras, rokok, daging ayam ras, dan telur ayam ras. Sedangkan di daerah perdesaan adalah komoditas beras, rokok, telur ayam ras, dan gula pasir.
Untuk komoditas bukan makanan, kontribusi terbesar terhadap Garis Kemiskinan adalah biaya perumahan, listrik, dan bensin baik di daerah perkotaan maupun di daerah perdesaan.
Penusunan menjelaskan, secara teknis dan sumber data untuk mengukur kemiskinan, BPS menggunakan konsep kemampuan memenuhi kebutuhan dasar (basic needs approach). Kemiskinan dipandang sebagai ketidakmampuan dari sisi ekonomi untuk memenuhi kebutuhan dasar makanan dan bukan makanan yang diukur dari sisi pengeluaran, Dengan pendekatan ini, dapat dihitung Head Count Index, yaitu persentase penduduk miskin terhadap total penduduk.
Metode yang digunakan adalah menghitung Garis Kemiskinan (GK), yang terdiri dari dua komponen yaitu Garis Kemiskinan Makanan (GKM) dan Garis Kemiskinan Bukan-Makanan (GKBM). Penghitungan Garis Kemiskinan dilakukan secara terpisah untuk daerah perkotaan dan perdesaan. Penduduk miskin adalah penduduk yang memiliki rata- rata pengeluaran per kapita per bulan di bawah Garis Kemiskinan.
Lanjut dikatakannya, Garis Kemiskinan Makanan (GKM) merupakan nilai pengeluaran kebutuhan minimum makanan yang disetarakan dengan 2100 kilokalori per kapita per hari. Paket komoditas kebutuhan dasar makanan diwakili oleh 52 jenis komoditas (padi-padian, umbi-umbian, ikan, daging, telur dan susu, sayuran, kacang-kacangan, buah-buahan, minyak dan lemak, dll).
Sedangkan Garis Kemiskinan Bukan Makanan (GKBM) adalah kebutuhan minimum untuk perumahan, sandang, pendidikan, dan kesehatan. Paket komoditas kebutuhan dasar bukan makanan diwakili oleh 51 jenis komoditas di perkotaan dan 47 jenis komoditas di perdesaan.
Sumber data utama yang dipakai untuk menghitung tingkat kemiskinan tahun 2015 ini adalah data SUSENAS (Survei Sosial Ekonomi Nasional) Modul Konsumsi dan Pengeluaran bulan Maret 2016. Sebagai informasi tambahan, juga digunakan hasil survei SPKKD (Survei Paket Komoditi Kebutuhan Dasar), yang dipakai untuk memperkirakan proporsi dari pengeluaran masing-masing komoditas pokok bukan makanan. (AFRIZAL).
Komentar