Daeng Pangeso Homescholling Ala Kaki Gunung

opini193 views

Opini, Tuah Kepri –

Alkisah dipedalaman kaki gunung  latimojong daerah Sulawesi Selatan sana, hiduplah seorang laki-laki dewasa bersama keluarganya, namanya Pangeso, sepintas lalu ia terlihat seperti lelaki bugis kebanyakan, tidak ada penampilan yang berlebihan pada dirinya, kecuali sebilah badik yang selalu terikat pada pinggangnya, karena bagi laki-laki bugis diperkampungan selain parang badik bukan hal yang lumrah untuk disandang kemana saja, badik harta pusaka keturunan yang dijaga dan dipelihara untuk menjaga martabat keluarga.

Dibawah kaki gunung latimojong terdapat sebuah kampong bernama Larewa, jika nama kampong itu agak kurang dikenal, maka bisa dijelaskan Larewa merupakan bagian dari daerah Suli di Kabupaten Luwu, dikampung itulah setiap sekali panen, hasil kebun pangeso dijual atau ditukarkan dengan kebutuhan hidup lainnya, mengapa pangeso menjadi layak untuk kita ceriterakan disini, karena hidupnya unik dan menarik bagi penulisnya, untuk itu mari kita simak apa benar yang dilakukan pangeso.

Pangeso atau lebih lengkapnya Tenri Sau Pangeso, merupakan lelaki yang berasal dari keturunan ningrat, kakek moyangnya dahulu merantau ke salah satu muara sungai di selat malaka, karena pada masa itu terjadi pergolakan besar-besaran di Sulawesi, yang dikenal dengan istilah peristiwa Kahar Muzakar, kakek moyang pangeso hanyalah salah satu dari sekian ribu klan bugis yang merantaukan diri ke pinggiran muara sungai-sungai di sumatera.

Pangeso lahir dan besar di sepanjang perairan pantai timur pulau sumatera tersebut, pendidikan terakhirnya di fakultas peternakan disebuah universitas yang tidak terkenal di Sumatera Barat, pulang ke Sulawesi hanya karena tuntutan orang kampong, karena tanah kakek moyangnya satu persatu dijual oleh orang-orang yang tidak dikenalnya, sebab itulah mengapa pangeso tinggal di kaki pegunungan latimojong, karena hanya itu bagian yang tersisa.

Hari-hari pangeso selama tinggal di sumatera tidak sedikitpun ia lewatkan dari memperhatikan pendidikan, karena naluri keilmuannya cukup besar sehingga sewaktu ia menempuh jenjang perkuliahan, ia banyak mengkritisi berbagai kebijakan sekolah yang menurutnya tidak sesuai dengan kurikulum Undang-undang Dasar Negara Indonesia.

Suatu sore pada sebuah tahun yang ia telah lupa, disebuah rumah kontakan pangeso di kota padang, saat itu ia didatangi ibu pemilik kontrakan, maksud ibu itu hendak meminjam uang sebanyak 10 ribu untuk biaya pendaftaran lomba menggambar anak-anaknya yang masih duduk dikelas nol besar (sekolah TK), bagi pangeso uang sebanyak sepuluh ribu pada tahun itu tidaklah terlalu besar, apalagi semasa ia sekolah kapal-kapalnya tetap melaut dan memberikan penghasilan yang lumayan besar untuk pemuda seusianya waktu itu, namun uang sepuluh ribu pada tahun itu cukup tinggi nilainya dibanding masa sekarang ini, hari-hari pengeso berikutnya resah karena terlalu banyak dan lama menyaksikan “Keanehan” dunia pendidikan.

Bagi pangeso untuk sekedar membuat otak anak cerdas dan tidak menjadi binatang uang setelah dewasanya, ia membuat keputusan final untuk pendidikan anak-anaknya, bahwa anak-anaknya tidak akan pernah menginjakkan kaki mereka di sekolah apapun selama ia hidup.

Agaknya kurang sopan jika kita membahas tentang “missing error” dunia pendidikan yang telah dilihat dan dialami oleh pengeso, selama nyawa menempuh badannya, seperti tuan ketahui terlalu banyak membicarakan sesuatu yang “Missing” seperti ini, orang akan menyalahkan kita karena memiliki pemikiran yang tidak moderen, dan bisanya Cuma mengutuk kinerja pemerintahan, maka dari itu kita akan lewatkan bagian tersebut, sementara itu disisi lain pengeso dengan hutan dan perkebunan cengkehnya, betul-betul seorang pria yang merdeka seutuhnya dan sebagai pria yang merdeka tentunya tuan juga mahfum bahwa ia bebas menentukan pilihannya sendiri.

Pendekatan pendidikan dalam Homescholling mungkin lebih kepada mempertajam kemampuan menonjol dari seorang anak, di kota-kota besar untuk memperoleh property sesuai bakat menonjol tersebut barangkali cukup mudah untuk diperoleh, namun tidak demikian halnya dengan perkampungan, apa lagi jika perkampungan itu sangat jauh dipedalaman hutan dibawah kaki pegunungan, sehingga terkadang kalimat Homescholling ini sedikit asing ditelinga orang-orang kampung.

Karena hati telah kecewa terhadap semua pandangan tentang pendidikan yang ia saksikan, Pangeso tidak punya banyak pilihan ketika diri dan keluarganya tinggal menetap di pedalaman kampong, ia harus menciptakan Homescholling dengan gayanya sendiri, dan pilihan yang tersedia hanyalah hutan dan perkebunan cengkeh nan membentang luas di pedalaman Larewa, tentunya tidak akan banyak peralatan modern yang akan membantunya dalam meringankan kegiatan Homescholling untuk anak-anaknya.

Aduhai menarik betul kiranya bagaiamana seorang yang jauh dari akses kebutuhan sekunder, tersier dan lux, merancang dan melaksanakan kegiatan pendidikan ala modern yang disebut dengan “Homescholling”, namun sayang sekali data yang menyusun kisah Pangeso ini sedang tersimpan didalam sebuah lemari kayu, disebuah rumah panggung di Watampone sana, sehingga tanpa mengurangi rasa hormat saya sebagai sebagai “penyambung lidah”, terhadap tuan yang sedang membaca kisah ini saya memohon maaf, karena kisah ini akan kami sambung pada artikel selanjutnya.

Catatan Zulfadli Adha
Dalam “Bumi Utopis Sulawesi”

Komentar