Tanjungpinang, Tuah Kepri –
Perkembangan Indeks Demokrasi Indonesia (IDI) Provinsi Kepulauan Riau (Kepri) selama tahun 2015, naik 1,87 poin.
“Bila dibanding angka perkembangan IDI Provinsi Kepri tahun 2014 sebesar 68,39, dengan IDI di tahun 2015 sebesar 70,26. Maka angka IDI ditahun 2015 naik 1,87 poin,” kata kepala Badan Pusat Statistik (BPS) Kepri, Panusunan Siregar, Rabu (3/8).
Meskipun mengalami peningkatan, kata dia, tingkat demokrasi Provinsi Kepri secara umum masih dalam kategori sedang.
Karena perubahan IDI berdasarkan dari 2009 hingga 2015 mengalami fluktuasi.(2009 sebesar 73,61, 2010 sebesar 62,89, 2011sebesar 70,78, 2012 sebesar 65,61, 2013 sebesar 66,50, 2014 sebesar 68,39 dan 2015 sebesar 70,26).
Penusunan menjelaskan, IDI sebagai sebuah alat ukur perkembangan demokrasi yang khas Indonesia.
“Memang dirancang untuk sensitif terhadap naik-turunnya kondisi demokrasi regional. Karena IDI disusun berdasarkan evidence based (kejadian). Sehingga potret yang dihasilkan merupakan refleksi realitas yang terjadi,
ucapnya.
Perlu diketahui, katanya IDI adalah merupakan indeks komposit yang mengukur pratek Demokrasi si Indonesia. Dan itu ada 3 aspek yaitu kebebasan sipil, hak-hak politik dan kelembagaan Demokrasi.
Selain itu, katanya juga merupakan alat ukur terhadap Demokrasi, baik ditingkat nasional maupun Provinsi. Dan dalam perhitungan IDI, BPS merupakan salah satu pihak yang terlibat selain Bappenas, kantor Kemenkohumkam, Kemendagri, Dewan ahli dan UNDP.
Bahkan tujuan dari IDI katanya untuk mengukur secara kuantatif tingkat pelaksanaan demokrasi. Mengukur perkembangan demokrasi tingkat Provinsi di Indonesia. Dan memperoleh gambaran tingkat dan perkembangan demokrasi antar Provinsi.
Mulai periode 2015 diterapkan 2 indikator baru komponen dari variabel peran birokrasi pemerintah daerah sebagai langkah penyempurnaan agar lebih sensitif.
“Perkembangan Indeks Aspek IDI angka IDI 2015, merupakan indeks komposit yang disusun dari nilai tiga aspek. Yakni aspek Kebebasan Sipil dengan indeks 80,16, aspek Hak-hak Politik sebesar 65,01, dan aspek Lembaga Demokrasi sebesar 66,13,” ujar Panusunan.
Nilai indeks dalam tiga aspek demokrasi yang diukur pada 2015, katanya 1 indeks mengalami peningkatan dibandingkan 2014, sedangkan 2 indeks mengalami penurunan.
Indeks aspek Hak- hak politik mengalami peningkatan sebesar 6,66 poin, sehingga mampu mendongkrak nilai IDI 2015. Sementara aspek kebebasan sipil turun 2,31 poin dan juga indeks aspek Lembaga Demokrasi turun 0,48 poin.
“Perlu menjadi perhatian, bahwa kenaikan indeks pada aspek hak-hak politik lebih disebabkan oleh semakin berkurangnya penyampaian aspirasi dalam bentuk demonstrasi yang dilakukan dengan cara-cara kekerasan seperti merusak, memblokir, membakar, dan melakukan penyegelan terhadap kantor-kantor pemerintah. Sementara dari aspek lembaga demokrasi peran DPRD dan partai politik masih cenderung rendah,” katanya.
Sementara pada tahun 2015 masih terdapat masalah kronis yakni kinerja demokrasi “buruk” (skor di bawah 60). Ada sebanyak 9 (sembilan) indikator yang masuk dalam kategori buruk.
“Indikator-indikator yang termasuk dalam kategori tersebut adalah, jumlah ancaman/penggunaan kekerasan oleh masyarakat yang menghambat kebebasan berpendapat, jumlah ancaman kekerasan atau penggunaan kekerasan oleh masyarakat karena alasan gender, etnis atau terhadap kelompok rentan lainnya, persentase perempuan terpilih terhadap total anggota DPRD Provinsi, demonstrasi atau mogok yang bersifat kekerasan, perda inisiatif DPRD, jumlah rekomendasi DPRD kepada eksekutif, kegiatan kaderisasi yang dilakukan partai peserta pemilu, persentase perempuan pengurus partai politik, dan kebijakan pejabat pemerintah daerah yang dinyatakan bersalah oleh keputusan PTUN,” ujarnya.
Pembangunan demokrasi dan politik merupakan hal yang penting dan terus diupayakan oleh pemerintah. Namun, untuk mengukur pencapaiannya baik di tingkat daerah maupun pusat bukan sesuatu hal yang mudah.
Pembangunan demokrasi memerlukan data empirik untuk dapat dijadikan landasan pengambilan kebijakan dan perumusan strategi yang spesifik dan akurat.
Untuk memberikan gambaran mengenai perkembangan demokrasi politik di Indonesia, maka sejak tahun 2009, Badan Pusat Statistik (BPS) bersama stakeholder lain merumuskan pengukuran Indeks Demokrasi Indonesia (IDI).
Pengumpulan data IDImengombinasikan pendekatan kuantitatif dan kualitatif sebagai tahapan yang saling melengkapi. Pada tahap pertama data kuantitatif dikumpulkan dari koding surat kabar dan dokumen tertulis seperti Perda atau peraturan dan surat keputusan kepala daerah, yang sesuai dengan indikator-indikator IDI. Temuan-temuan tersebut kemudian diverifikasi dan dielaborasi melalui focus group discussion (FGD) sebagai tahap pengumpulan data kedua, sekaligus menggali kasus-kasus yang tidak tertangkap di koding surat kabar atau dokumen.
Pada tahap ketiga katanya, data-data yang telah terkumpul tersebut diverifikasi melalui wawancara mendalam dengan narasumber yang kompeten memberikan informasi tentang indikator IDI.
Semua tahapan pengumpulan data dilakukan oleh BPS Provinsi, diolah di BPS RI, dan diverifikasi oleh dewan ahli beserta mitra kerja lainnya,” ujarnya.
Dari sisi penghitungan Indeks, IDI harus melalui tiga tahapan proses yakni pertama, menghitung indeks akhir untuk setiap indikator. Kedua, menghitung indeks provinsi dan ketiga, menghitung indeks keseluruhan atau IDI Nasional.
Ketiga tahapan ini secara hierarki terkait satu dengan yang lain. Indeks masing-masing indikator IDI (28 indikator) di setiap provinsi memberikan kontribusi dalam penghitungan indeks
Komposit indeks ketiga aspek IDI inilah yang merefleksikan indeks demokrasi di masing-masing provinsi. Dan pada akhirnya komposit indeks provinsi menentukan IDI Nasional.
“Untuk menggambarkan capaian tingkat demokrasi dalam IDI digunakan skala 0-100. Skala ini merupakan skala normatif di mana 0 adalah tingkat terendah dan 100 adalah tingkat tertinggi,” ujarnya. (AFRIZAL).
Komentar