Tanjungpinang, Tuah Kepri –
Badan Pusat Statistik (BPS) Kepri menyatakan jumlah penduduk miskin di Provinsi Kepulauan Riau ( Kepri) pada periode September 2015 sampai Maret 2016, bertambah sebanyak 5.578 orang.
“Yaitu dari 114.834 orang pada September 2015 menjadi 120.412 orang pada Maret 2016. Persentase penduduk miskin bertambah sebesar 0,20 poin yaitu dari 5,78 persen menjadi 5,98 persen pada periode tersebut,” kata kepala BPS Kepri, Panusunan Siregar Senin (18/7) saat jumpa pers.
Ia menjelaskan bertambahnya penduduk miskin berdasarkan jumlah penduduk miskin daerah perkotaan dan perdesaan. Sementara jumlah penduduk miskin perkotaan bertambah sebanyak 4.692 orang, dari 83.087 orang pada September 2015 menjadi 87.779 orang pada Maret 2016.
Sedangkan untuk di daerah perdesaan, penduduk miskin bertambah sebanyak 886 orang, dari 31.747 orang pada September 2015 menjadi 32.633 orang pada Maret 2016.
Selain itu, kata Penusunan banyak sedikitnya jumlah penduduk miskin sangat dipengaruhi oleh Garis Kemiskinan,
karena penduduk miskin adalah penduduk yang memiliki rata-rata pengeluaran per kapita perbulan di bawah Garis Kemiskinan.
“Selama September 2015-Maret 2016, pertumbuhan Garis Kemiskinan sebesar 1,94 persen, yaitu dari Rp480.812,- per kapita per bulan pada September 2015 menjadi Rp.490.157,- pada Maret 2016,” ujarnya.
Pada periode yang sama, sambung dia, garis kemiskinan daerah perkotaan tumbuh sebesar 1,84 persen dan di wilayah perdesaan pertumbuhannya sebesar 2,20 persen.
Dengan memperhatikan komponen Garis Kemiskinan (GK), yang terdiri dari Garis Kemiskinan Makanan (GKM) dan Garis Kemiskinan Bukan Makanan (GKBM),terlihat bahwa peranan komoditas makanan jauh lebih besar dibandingkan peranan komoditas bukan makanan.
“Pada Maret 2016 peranan GKM terhadap GK sebesar 67,42 persen, sedangkan pada September 2015 peranan GKM terhadap GK sebesar 67,11 persen. Di daerah perkotaan peranan GKM terhadap GK terlihat meningkat dari 65,61 persen pada September 2015 menjadi 65,93 persen pada Maret 2016, demikian pula di perdesaan peranan GKM terhadap GK terlihat meningkat dari 75,19 persen pada September 2015 menjadi 75,62 persen pada Maret 2016,” katanya.
Sementara bila dilihat dari persoalan katanya, kemiskinan bukan hanya sekadar berapa jumlah dan persentase penduduk miskin.
“Dimensi lain yang perlu diperhatikan adalah tingkat kedalaman dan keparahan dari kemiskinan. Selain harus mampu memperkecil jumlah penduduk miskin, kebijakan kemiskinan juga sekaligus harus bisa mengurangi tingkat kedalaman dan keparahan dari kemiskinan,” katanya.
Pada periode September 2015-Maret 2016, Indeks Kedalaman Kemiskinan (P1) dan Indeks Keparahan Kemiskinan (P2) menunjukkan adanya perubahan.
“Indeks Kedalaman Kemiskinan bertambah 0,026 poin dari 0,864 pada September 2015 menjadi 0,890 pada Maret 2016. Sedangkan Indeks Keparahan Kemiskinan (P2) mengalami penurunan dari 0,232 pada September 2015 menjadi 0,201 pada Maret 2016 (Tabel 4).Di daerah perkotaan pada periode September 2015-Maret 2016 Indeks Kedalaman Kemiskinan turun dari 0,797 menjadi 0,773, demikian pula halnya dengan Indeks Keparahan.
Kemiskinan juga mengalami penurunan dari 0,226 menjadi 0,180. Sedangkan di daerah perdesaan pada periode September 2015-Maret 2016 Indeks Kedalaman Kemiskinan mengalami peningkatan dari 1,204 menjadi 1,529. Demikian pula halnya dengan Indeks Keparahan Kemiskinan yang juga meningkat dari 0,258 menjadi 0,312,” ujar Penusunan.
Sedangkan untuk mengukur kemiskinan, katanya BPS menggunakan konsep kemampuan memenuhi kebutuhan dasar (basic needs approach). Kemiskinan dipandang sebagai ketidakmampuan dari sisi ekonomi untuk memenuhi kebutuhan dasar makanan dan bukan makanan yang diukur dari sisi pengeluaran.Dengan pendekatan ini, dapat dihitung Head Count Index, yaitu persentase penduduk miskin terhadap total penduduk.
Selain itu metode yang digunakan katanya adalah, menghitung Garis Kemiskinan (GK), yang terdiri dari dua komponen yaitu Garis Kemiskinan Makanan (GKM) dan Garis Kemiskinan Bukan Makanan (GKBM).
“Penghitungan Garis Kemiskinan dilakukan secara terpisah untuk daerah perkotaan dan perdesaan. Penduduk miskin adalah penduduk yang memiliki rata-rata pengeluaran per kapita per bulan di bawah Garis Kemiskinan,” ujarnya.
Garis Kemiskinan Makanan (GKM) merupakan nilai pengeluaran kebutuhan minimum makanan yang disetarakan dengan 2100 kilokalori per kapita per hari. Paket komoditas kebutuhan dasar makanan diwakili oleh 52 jenis komoditas (padi-padian, umbi-umbian, ikan, daging, telur dan susu, sayuran, kacang-kacangan, buah-buahan, minyak dan lemak, dan lain-lain).
Kemudian Garis Kemiskinan Bukan Makanan (GKBM) adalah kebutuhan minimum untuk perumahan, sandang, pendidikan, dan kesehatan. Paket komoditas kebutuhan dasar bukan makanan diwakili oleh 51 jenis komoditas di perkotaan dan 47 jenis komoditas di perdesaan.
Sementara katanya sumber data utama yang dipakai untuk menghitung tingkat kemiskinan tahun 2015 ini adalah, data SUSENAS (Survei Sosial Ekonomi Nasional) Modul Konsumsi dan Pengeluaran bulan Maret 2016.
Sebagai informasi tambahan, juga digunakan hasil survei SPKKD (Survei Paket Komoditas Kebutuhan Dasar), yang dipakai untuk memperkirakan proporsi dari pengeluaran masing-masing komoditas pokok bukan makanan. (AFRIZAL).
Komentar